Skripsi vs Kesehatan Mental: Siapa yang Menang?

Skripsi. Sebuah kata yang  bisa bikin mahasiswa semester akhir merinding. Awalnya, kita optimis. "Skripsi mah gampang, yang penting ngerjain!" Tapi, makin dijalanin, makin sadar kalau ini lebih sulit dari sekedar nulis. Apalagi kalau dospemnya suka ngilang atau revisinya lebih banyak dari tugas kuliah empat tahun. Nah, pertanyaannya: skripsi atau kesehatan mental, siapa yang menang?

Perjalanan Skripsi: Dari Semangat ke Stres Berat

Awal-awal masih semangat. Beli buku referensi, nyusun proposal, bahkan mungkin ngerasa keren karena udah masuk fase penelitian. Tapi, begitu revisi pertama datang, mulai ada rasa waswas. Revisi kedua, masih bisa ditahan. Masuk revisi kelima? Mulai mikir buat pindah ke Mars. Setiap bab yang ditulis kayaknya selalu salah di mata dospem. Tiba-tiba, pertanyaan eksistensial muncul: "Gue beneran kuliah empat tahun buat begini?" Ditambah tekanan dari keluarga yang tiap ketemu selalu nanya, "Kapan wisuda?" Padahal kita sendiri juga nggak tahu jawabannya.

Dospem: Malaikat atau Mimpi Buruk?

Dosen pembimbing bisa jadi penyelamat atau malah sumber stres terbesar. Ada yang responsif, kasih arahan jelas, dan siap ngebantu. Tapi ada juga yang susah ditemuin, lama bales chat, dan kalau revisi jawabannya cuma "kurang dalam" tanpa kasih solusi. Mahasiswa semester akhir udah kayak detektif, cari info ke senior, ke teman seangkatan, bahkan stalking dospem di media sosial buat tahu kapan kira-kira bisa ditemuin. Kadang, skripsi bukan soal kemampuan akademik lagi, tapi soal seberapa sabar dan gigih kita ngejar tanda tangan dospem.

Tips Skripsi Kelar, Mental Tetap Aman
Biar nggak kalah dengan skripsi, ada beberapa hal yang bisa dilakukan:

Bagi waktu dengan bijak. Jangan nunda-nunda, tapi juga jangan terlalu maksa. Ambil jeda kalau sudah mentok.
Cari Support system. Teman seperjuangan bisa jadi penyemangat. Curhat, diskusi, atau sekedar ngeluh bareng bisa bikin beban berasa lebih ringan.
Self care itu penting. Jangan sampai skripsi bikin lupa makan, lupa istirahat, atau lupa bahagia. Ambil waktu buat olahraga, nonton film, atau sekedar jalan-jalan biasa.
Jangan takut minta bantuan. Kalau ngerasa udah overwhelmed, nggak ada salahnya minta bantuan ke dosen, teman, atau yang ahlinya.


JADI SIAPA PEMENANGNYA?

Kesimpulan: Siapa Pemenangnya?

Pada akhirnya, skripsi dan kesehatan mental itu nggak harus jadi musuh. Skripsi memang penting, tapi kesehatan mental lebih penting. Percuma lulus cepat kalau akhirnya burnout parah. Jadi, keseimbangan adalah kunci. Jangan biarkan skripsi jadi monster yang merusak hidup, tapi juga jangan terlalu santai sampai nggak kelar-kelar. Karena pada akhirnya, skripsi hanya sementara, tapi kesehatan mental perlu dijaga selamanya.

Jadi, siapa pemenangnya? Harusnya sih, kita.



Komentar

Posting Komentar